KBRN, Sendawar: Pengacara Priska, Sastiono
Kesek bereaksi atas pernyataan polisi soal sengketa antara PT Energi Batu Hitam
(EBH) dengan warga kampung Dingin Kecamatan Muara Lawa kabupaten Kutai Barat
(Kubar) yang berujung penutupan kantor serta penghentian aktivitas tambang.
Pertama Sastiono menanggapi pernyataan Kapolres Kubar AKBP Heri Rusyaman, yang menyebut warga Dingin menutup jalan menuju settling pond atau kolam penampungan limbah tambang batu bara.
Menurutnya, lokasi yang ditutup adalah jalur hauling batu bara dari kampung Dingin ke lokasi penampungan batu bara di kampung Lotaq.
“Kalau bilang kami tutup itu terkait dengan lingkungan itu salah, karena yang kami tutup adalah jalur angkutan batu bara,” ujar Sastiono di Sendawar, Rabu (22/2/2023).
Sas menyebut, warga sengaja menutup jalur hauling bukan saja karena tuntutan mereka tak digubris, tetapi perusahaan hanya mementingkan produksi. Sementara kerusakan lingkungan hingga matinya tanaman masyarakat tak dianggap serius.
“Mereka hanya mementingkan produksi, sedangkan menurut aturan perusahaan harus memiliki kepala teknik tambang. Waktu rapat mediasi di Polres perusahaan tidak memiliki kepala teknik tambang.
“Yang kedua perusahaan tidak memperhatikan lingkungan hidup dalam bekerja. Ada 4 sungai yang sudah dirusak oleh perusahaan. Pertanyaannya Kapolres dapat tidak laporan itu dari anak buahnya,” tanya Sastiono.
BACA JUGA:
Kapolres Kubar Sebut Penutupan Tambang PT.EBH Rugikan Masyarakat
Dia menambahkan, warga kampung Dingin justru mendukung perusahaan melakukan perawatan lingkungan. Sebab menurut warga, banyak sungai yang terancam tertutup akibat aktivitas pertambangan.
Sehingga dia merasa janggal jika warga disebut menghalangi PT EBH merawat settling pond, yang berisi zat beracun dari limbah batu bara tersebut.
“Terkait perawatan lingkungan justru itu yang kami tuntut. Kami minta utamakan perawatan lingkungan, bagaimana menyelamatkan sungai. Makanya pada saat mereka minta perbaikan sungai, kami setuju. Justru itu yang kami minta,” katanya.
Sastiono juga mempertanyakan pernyataan Kapolres bahwa tidak ada pencemaran di Sungai Dingin dan sungai Payang.
Sebab menurut dia, secara kasat mata kondisi air sungai sudah sangat keruh. Ditambah longsoran yang terus terjadi.
“Kita mau tanya Kapolres, ciri-ciri sungai yang tercemar itu seperti apa menurut hukum lingkungan,” sindir pria bergelar SH,LL.M, alias magister hukum lulusan luar negeri tersebut.
BACA JUGA:
Polisi Bongkar Tenda Yang Didirikan Warga Dingin di Lokasi PT.EBH
Dia mengaku warga sudah menyampaikan soal aliran sungai yang rusak di hadapan polisi saat mediasi di kantor Polres, 9 Februari lalu.
Tetapi polisi maupun perusahaan belum memberikan penjelasan resmi soal pengaduan tersebut.
“Sesuai berita acara dari dinas lingkungan hidup disebutkan bahwa ada erosi, ada endapan, itulah pencemaran tanah. Kalau pecemaran air, airnya berubah warna, berbau dan Ph-nya tinggi itulah pencemaran. Makanya pak Kapolres perlu memperhatikan itu,” tegas dia.
BACA JUGA:
Mediasi Buntu, Warga Dingin Tetap Hentikan Operasional Tambang
Di sisi lain Sastiono juga mengklarifikasi soal handak atau gudang bahan peledak yang dinilai tidak masuk area tanah warga.
Menurut dia, fakta di lapangan lokasi Gudang Handak hanya berjarak 30 meter dari tanah milik Priska. Bahkan hanya 5 meter dari tanah milik Jene.
“Gudang handak yang dikatakan oleh Kapolres jaraknya 300 meter itu kami meminta bapak Kapolres datang sendiri ke lokasi jangan mendengar laporan anak buahnya yang pro perusahaan yang merupakan humas perusahaan yaitu Pak Agus.
“Karena Pak Agus sendiri tidak pernah datang ke lokasi Ibu Priska dan ibu Jene yang jaraknya dari gudang handak ke lokasi kebun itu hanya 5 meter, catat ya hanya 5 meter lahan Ibu Jene dari gudang handak,” sebut Sas.
Dia menjelaskan, sesuai Peraturan Menteri Pertahanan RI Nomor 5 Tahun 2016 tentang Pembinaan dan Pengembangan Industri Bahan Peledak menyebutkan bahwa salah satu syarat utama mendirikan handak adalah memiliki bukti adanya kepemilikan atau penguasaan lahan yang akan digunakan untuk mendirikan pabrik serta menjamin tidak dalam sengketa.
Sementara hingga saat ini lokasi tersebut masih sengketa dengan warga.
“Itu sudah menyalahi prosedur lingkungan karena lahan yang jadi prosedur lingkungan dan prosedur sosial itu harus diatur minimal 300 meter dari gudang handak. Dan itu tidak ada aktivitas sedangkan lahan Ibu Priska dan ibu Jene itu jaraknya hanya 5 meter,” terangnya.
BACA JUGA:
Warga Kampung Dingin Laporkan Balik PT.EBH ke Polres Kubar
Sastiono juga menanggapi terkait tenaga kerja lokal yang disebut mencapai 40% atau sekitar 200 orang.
Lantaran informasi dari kepala kampung Dingin dan Lotaq kecamatan Muara Lawa yang berada di ring satu tambang justru warga mereka yang bekerja di PT EBH hanya sekitar 30 orang.
“Sedangkan kalau dihitung total seluruh karyawan PT EBH maupun kontraktornya itu mencapai 400 sampai 500 orang, pertanyaannya 40% dari mana? Coba dibuka datanya umumkan ke publik bahwa karyawan lokal sudah 40%,” cecar Sastiono.
BACA JUGA:
Sengketa Dengan PT EBH, Erika Siluq Minta Pemerintah Turun Tangan
Sebelumnya Kapolres Kubar AKBP Heri Rusyaman menjelaskan duduk perkara penutupan kantor dan lahan tambang batu bara PT Energi Batu Hitam (EBH), oleh warga kampung Dingin kecamatan Muara Lawa kabupaten Kubar.
Heri menjelaskan, warga kampung Dingin yang dipimpin Erika Siluq dan Priska awalnya melakukan penutupan kantor PT EBH hingga menghentikan kegiatan perusahaan sejak awal Februari lalu.
Bahkan Priska dan Erika bersama sejumlah warga menutup jalan ke lokasi tambang dan mendirikan tenda-tenda darurat hingga menghalangi aktivitas perusahaan.
Dua perempuan kakak beradik itu disebut menuntut ganti rugi lahan sekitar 6,3 hektare yang dipakai PT EBH untuk membangun gudang handak atau gudang bahan peledak.
“Jadi permasalahan awalnya bahwa pihak perusahaan ini akan membangun gudang handak di lokasi yang sebenarnya tidak masuk secara langsung tapi hanya di radius 300 meter. Pembangunan sudah berjalan, komunikasi dengan pihak perusahaan pun sudah beberapa kali dilakukan tetapi mungkin dari harga yang ditentukan perusahaan dengan pihak ibu Priska dan Erika belum ada kecocokan atau kesepakatan. Kalau dengan masyarakat lain sudah clear dan tidak ada masalah,” jelas AKBP Heri Rusyaman saat diwawancarai awak media di Mapolres Kubar, Senin (20/2/2023).
Kapolres menyebut perusahaan tidak mampu memenuhi tuntutan Priska Cs karena mereka meminta ganti rugi dengan nilai fantastis.
“Tetapi kan perusahaan ada pertimbangan bahkan nilainya pun cukup fantastis, artinya cukup tinggi dibandingkan dengan tanah-tanah masyarakat yang lain,” sebut Kapolres.
BACA JUGA:
Lagi, Warga Kampung Dingin Tutup Lahan Tambang PT.EBH
Sementara terkait tenda darurat yang didirikan warga menurut Kapolres merupakan akses jalan menuju site 3 yang menjadi lokasi settlingpound atau kolam pengendapan limbah tambang.
Sehingga jika tidak dilakukan perawatan maka bisa meluap dan mengancam keselamatan masyarakat maupun lingkungan sekitar. Atas dasar itu perusahaan meminta bantuan polisi melarang penutupan jalan yang dilakukan warga agar tidak membahayakan masyarakat secara umum.
“Bahkan pihak EBH pun membuat surat ke pimpinan daerah (bupati) untuk dibantu mediasi agar perawatan settling pound itu karena takutnya sitepond itu jebol mau tidak mau akan merugikan masyarakat yang ada di sekitarnya,” ujar Kapolres.
“Katanya untuk kepentingan masyarakat tetapi perbuatannya malah nanti merugikan masyarakat. Kalau itu jebol, banjir padahal kesalahan mutlaknya bukan perusahaan tidak mau melakukan perawatan atau pemeliharaan tetapi karena ada masalah itu,” lanjut Kapolres.
Lebih jauh Kapolres menyebut selain perusahaan, kerugian juga dialami para pekerja karena terpaksa dirumahkan akibat terhentinya operasional tambang. Sehingga dia mendesak kedua belah pihak mencari solusi terbaik atas persoalan tersebut.
“Salah satunya lagi yang paling nyata terhentinya proses perawatan itu ada beberapa karyawan juga tidak di pekerjakan karena situasional tidak bisa melewat di situ. Otomatis mengganggu kepentingan umum karena setelah kita koordinasi dengan pihak perusahaan pun secara aturan terkait 40% masyarakat lokal itu sudah terpenuhi. Kalau tidak salah hampir 200 lebih masyarakat lokal yang dipekerjakan di PT EBH. Sementara informasi dari perusahaan ya berhenti dulu sampai ini selesai,” imbuh Heri.
BACA JUGA:
Ini Alasan Warga Dingin-Kubar Tutup Kantor PT EBH
Sementara itu dikonfirmasi soal pengaduan warga kampung Dingin terkait perusakan lahan dan tanam tumbuh menurut Kapolres belum ada laporan resmi. Hanya saja pihaknya sudah melakukan pemeriksaan lokasi dan meminta klarifikasi ke berbagai pihak. Termasuk Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Kutai Barat yang menangani pencemaran lingkungan.
“Kalau informasi bahwa perusahaan melakukan pencemaran lingkungan terus ada beberapa segmen yang longsor itu pun sudah kita tindaklanjuti bahkan bekerjasama dengan Dinas Lingkungan Hidup dari Pemda, sudah turun bahwa belum dikatakan kategori pencemaran lingkungan.
“Kalau untuk longsor mungkin ada beberapa bagian yang longsor tapi kan dilihat dari kondisi saat ini adalah curah hujan yang sangat tinggi sehingga menyebabkan mungkin ada beberapa (tertimbun tanah) dan itu pun pihak perusahaan sudah siap untuk memperbaiki,” bebernya.