​Antisipasi Kecurangan Pemilu 2024, KPU Masih Andalkan Situng

Ketua KPU RI Hasyim Asy'ari (tengah) saat melakukan sesi wawancara dengan awak media usai melantik 106 anggota KPU terpilih untuk 20 provinsi di Indonesia, di Kantor KPU, Jl. Imam Bonjol, Jakarta Pusat, Rabu (24/5/2023) (Foto: Istimewa)

KBRN, Jakarta: Komisi Pemilihan Umum (KPU) masih mengandalkan Sistem Informasi Penghitungan Suara (Situng) pada Pemilu 2024 mendatang. Situng merupakan strategi yang dilakukan pada Pemilu 2019 lalu, dinilai efektif mengantisipasi kecurangan saat melakukan perhitungan suara.

"Dari waktu ke waktu kita lakukan (antisipasi kecurangan), misal pada Pemilu 2019 KPU membuat Situng. Kita ubah menjadi Sistem Informasi Rekapitupasi Hasil Suara pada Pilkada 2020, lalu kita adopsi untuk Pemilu 2024," kata Hasyim saat ditemui wartawan di Kantor KPU, Jl. Imam Bonjol, Jakarta, Rabu (24/5/2023).

Ia menjelaskan, Situng merupakan pengembangandari Scan C1 yang diterapkan pertama pada Pemilu 2014. Di mana petugas TPS melalukan scan dokumen C1 dan diunggah ke website KPU untuk dipublikasikan.

"KPU juga melakukan verifikasi, apakah hitungannya sudah benar atau tidak. Kalau ada tuduhan, 'Hitungannya enggak bener, kok dipublikasi?' Memang kita publikasikan apa adanya, senyatanya," ucap Hasyim.

Seandainya penghitungan suara salah, ia menjelaskan bahwa KPU akan mengirim data C1 ke KPU Kabupaten/Kota. Hal ini upaya publik juga tahu bahwa ada hitungan yang salah.

"Tapi jangan lupa, yang salah-salah ini diketahui oleh KPU. Lali kita kirimkan kembali hasilnya ke KPU Kabupaten/Kota tempat di mana Form C1 dari TPS itu berasal untuk dikoreksi,"  kata Hasyim.

Ia menegaskan bahwa KPU mempersilakan siapa pun menjadi saksi penghitungan suara di tiap TPS. Silakan para saksi mengambil foto dan merekam proses penghitungan suara di TPS yang digelar terbuka.

"Jadi proses penghitungan suara akan dilakukan secara terbuka. Kalau ada tuduhan ada manipulasi, itu pasti diketahui banyak orang," kata Hasyim.

Lebih lanjut ia menuturkan bahwa KPU akan melakukan koreksi sesuai UU Pemilu No. 7 Tahun 2017. Hal tersebut digunakan jika adanya komplain di tingkat kabupaten.

"Memeriksa hasil satu tingkat di bawahnya. KPU membuat kebijakan melarang KPU Kabupaten/Kota dan KPU Provinsi merekapitulasi ketika ada komplain atau keberatan dari peserta pemilu," ucap Hasyim.