KBRN, Jakarta: Keberadaan pelabuhan tikus di Indonesia sempat membuat Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan gerah beberapa waktu lalu. Saat itu Menko Marves berujar Pemerintah berupaya terus memberantas keberadaan pelabuhan tikus. Pasalnya pelabuhan tikus tersebut berisiko merugikan kegiatan perekonomian negara.
Pengamat Maritim dari IKAL SC, DR. Capt. Marcellus Hakeng Jayawibawa menanggapi masifnya keberadaan pelabuhan tikus di Indonesia. Menurutnya, keberadaan pelabuhan tikus di Indonesia merupakan masalah serius yang harus segera diatasi. Dimana hal tersebut adalah situasi yang sudah berlangsung lama, bahkan lebih lama dari usia republik ini.
"Kita harus sepakat bahwa Pelabuhan tikus merupakan ancaman bagi keamanan nasional dan perekonomian Bangsa Indonesia," kata Capt. Marcellus Hakeng, di Jakarta, Rabu (30/8/2023).
Lebih lanjut Hakeng menjelaskan, bahwa Pelabuhan tikus merupakan pelabuhan yang tidak dikelola dengan baik dan tidak memenuhi standar nasional dan internasional. Pelabuhan-pelabuhan ini sering digunakan untuk kegiatan ilegal, seperti penyelundupan barang, perdagangan manusia, dan juga perdagangan narkoba. Jadi, segala kegiatan yang ada di pelabuhan itu tentu saja merugikan Negara.
"Pemerintah perlu mengambil tindakan segera untuk menutup pelabuhan tikus dan memperbaiki pengelolaan pelabuhan di Indonesia. Pemerintah perlu berinvestasi dalam infrastruktur, pelatihan, dan penegakan hukum untuk memastikan bahwa pelabuhan-pelabuhan di Indonesia aman dan terjamin," ujarnya.
Dikatakan Capt. Hakeng, saat ini terdapat sekitar 3.000 lebih pelabuhan di Indonesia, akan tetapi hanya sebagian kecil yang sudah dikelola dengan baik. Sisanya masih membutuhkan peran serta pemerintah guna memperbaiki tata kelolanya. Kasus penyelundupan masih saja terjadi di Indonesia ditengarai karena banyaknya pelabuhan tikus tersebut.
"Keberadaan pelabuhan tikus di Indonesia merupakan faktor utama yang berkontribusi terhadap kasus penyelundupan. Pelabuhan tikus sering digunakan penyelundup untuk membawa barang ke Indonesia secara illegal. Kita mempunyai sekitar 6.000 pulau yang berpenghuni, tapi kita hanya memiliki sekitar 3.000 pelabuhan yang beroperasi secara resmi, berarti masih ada tiga ribuan pulau berpenghuni yang sampai detik ini mengandalkan pelabuhan tikus sebagai satu-satunya alternatif keluar masuknya orang atau barang di wilayahnya," katanya.
Capt Hakeng menganalisa ada beberapa alasan mengapa kasus penyelundupan masih terjadi di Indonesia selain dari masih kurangnya jumlah pelabuhan resmi di Indonesia. Alasan-alasan ini meliputi masih terpeliharanya perilaku korup di lingkup pelabuhan yang memudahkan para penyelundup untuk beroperasi.
Kemudian kurangnya jumlah penegak hukum dimana Pemerintah tidak memiliki sumber daya yang cukup untuk menegakkan peraturan di pelabuhan secara efektif. Analisa lain terkait posisi kita yang berbatasan langsung dengan banyak negara tetangga, yang mana kedekatan Indonesia dengan negara tetangga yang peraturannya kurang ketat (vice versa) juga memudahkan penyelundup untuk membawa barang ke Indonesia.
Menurut Capt Hakeng, ada beberapa langkah yang bisa dilakukan oleh Pemerintah. Langkah pertama Pemberantasan korupsi. Pemerintah perlu menindak korupsi di kalangan pejabat pelabuhan dan aparat penegak hukum, personel-personel penegak hukum termasuk di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendapatkan pengayaan terkait pengetahuan tentang dunia maritim.
Langkah kedua, pemerintah perlu meningkatkan penegakan peraturan di pelabuhan. Kemudian yang Ketiga adalah Pemerintah perlu lakukan penguatan hukum terhadap para pelaku penyelundupan. Langkah keempat, kita perlu bekerjasama dengan Negara-Negara tetangga dalam rangka pencegahan penyelundupan secara bersama-sama.