Nasional

UU Kesehatan Disahkan, Puan: Sampaikan Aspirasi ke Pemerintah

Oleh: Bunaiya Editor: Mosita 12 Jul 2023 - 12:07 Pusat Pemberitaan
UU Kesehatan Disahkan, Puan: Sampaikan Aspirasi ke Pemerintah
Ketua DPR RI Puan Maharani (kedua kanan) menerima dokumen pandangan pemerintah terkait RUU Kesehatan dari Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin (kiri) disaksikan Wakil Ketua DPR Rachmat Gobel (kanan), Lodewijk Paulus (kedua kiri) saat Rapat Paripurna ke-29 Masa Persidangan V Tahun Sidang 2022-2023 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (11/7/2023) (Foto: Antara/Galih Pradipta/foc)

KBRN, Jakarta: Ketua DPR RI Puan Maharani menyadari ada pihak yang masih tidak puas dengan pengesahan Undang-Undang (UU) Kesehatan. Ia pun menyarankan pihak-pihak tersebut untuk menyampaikan masukan dan aspirasi tambahan kepada pemerintah. 

Ia menjelaskan, setelah sebuah UU disahkan melalui Rapat Paripurna DPR, pemerintah berkewajiban membuat aturan turunan. Misalkan, katanya, Kementerian Kesehatan selaku perwakilan pemerintah membuat Peraturan Pemerintah (PP).

”Jadi, bisa memberikan masukan dan aspirasi tersebut kepada pemerintah. Sampaikan masukan melalui Kementerian Kesehatan,” kata Puan, dikutip dari Parlementaria, Rabu (12/7/2023). 

Puan menambahkan, jikapun nanti PP masih dirasa belum memuaskan, pihak-pihak dapat mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK). ”Jadi silakan saja itu (sampaikan gugatan ke MK, red)," ujarnya. 

Sebab, katanya, menggugat Peninjauan Kembali (PK) UU Kesehatan dimungkinkan secara konstitusi. "Ini negara kan negara hukum, semua yang ada sudah kami lakukan," ucap Puan. 

Ketua Panitia Kerja RUU Kesehatan Emanuel Melkiades Laka Lena menegaskan, pihaknya telah memberikan kesempatan pihak-pihak terkait menyampaikan masukan. Melki menjamin, semangat RUU Kesehatan mengakomodasi kepentingan banyak pihak, baik dari tenaga kesehatan (nakes), maupun masyarakat.

“Substansi yang disampaikan berbagai pihak, bahkan menjadi isu demonstrasi ke DPR, hampir dipastikan sebagian besar sudah masuk," katanya. "Kami harapkan semua pihak menerima, dan kita laksanakan, ini akan menjadi wajah baru dunia kesehatan Tanah Air”.

Organisasi nakes kerap menggelar aksi penyampaian pendapat, untuk menolak pengesahan RUU Kesehatan menjadi UU. Ada beberapa tuntutan yang nakes sampaikan dalam berbagai aksi tersebut. 

Nakes di antaranya mengangkat isu mandatory spending (anggaran wajib minimal) yang dihapus dalam UU Omnibus Law itu. Sebab, UU sebelumnya, UU 9/2009 tentang Kesehatan menyatakan, mandatory spending sebesar 5 persen dari APBN, di luar gaji. 

Berdasarkan salinan UU yang diterima rri.co.id dari Melki, pemerintah pusat, provinsi, dan daerah kabupaten/kota diwajibkan memprioritaskan anggaran kesehatan. Terutama saat penyusunan program dan kegiatan dalam APBN (Anggaran Pendapatan Belanja Negara) dan APBD (Anggaran Pendapatan Belanja Daerah). 

Anggaran kesehatan ini di luar gaji, dalam lingkup peningkatan pelayanan kesehatan bagi masyarakat. Artinya, UU Kesehatan Omnibus Law mewajibkan peningkatan pelayanan kesehatan, harus tetap memperhatikan kesejahteraan sumber daya manusia kesehatan.

Nakes dalam berbagai aksi juga menyoroti risiko kriminalisasi pada mereka, dengan menggunakan UU Kesehatan Omnibus Law. “Apabila dipersoalkan keluarga pasien, akan ada mekanisme pendahuluan untuk diuji melalui mekanisme internal,” ujar Melki menjawab kekhawatiran nakes.