KBRN, Pangkalan Balai: Wakil Presiden Ma’ruf Amin menyatakan diperlukan edukasi mengenai pentingnya menghindari pernikahan dini. Edukasi tersebut harus melibatkan para tokoh agama untuk turut berperan aktif.
“Mengenai usia dini itu kita terus bahwa memang sudah ada undang-undang, tapi tidak cukup untuk bisa mencegah. Karena itu perlu ada edukasi-edukasi dari semua pihak, termasuk tokoh agama, para kiai, dan ustaz,” kata Wapres saat menghadiri peringatan Hari Keluarga Nasional ke-30 di Kabupaten Banyuasin, Provinsi Sumatra Selatan, Kamis (6/7/2023).
Menurut Wapres, edukasi itu dilakukan untuk memberikan pemahaman kepada para generasi muda akan bahaya yang ditimbulkan dari pernikahan di usia dini, baik ditilik dari segi agama maupun kesehatan. Sebab, pernikahan usia dini turut menjadi salah satu penyebab terjadinya stunting atau masalah gizi buruk sehingga berdampak terganggunya pertumbuhan pada anak.
“Untuk mereka (tokoh agama, red) bergerak untuk memahamkan, harus wajib menghindari untuk menikahkan dini, karena itu menimbulkan bahaya. Sesuatu yang menimbulkan akibat yang bahaya tidak baik, itu menurut agama tidak boleh, harus dihindari,” ujarnya.
Wapres menjelaskan, pernikahan dini juga menjadi fokus pemerintah, dalam upaya menekan angka stunting. Peran keluarga juga diharapkan turut andil dalam mencegah terjadinya pernikahan dini atau pada usia anak.
"Bagi keluarga yang memiliki anak remaja, perlu dipastikan remaja kita mempunyai perilaku hidup dan pergaulan yang sehat. Patut menjadi keprihatinan kita bersama soal masih relatif tingginya angka pernikahan anak," ucapnya.
Sementara Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Hasto Wardoyo menilai adanya Undang-Undang No. 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas UU No. 1 Tahun 2014 tentang Perkawinan pada 14 Oktober 2019, dinilai sebagai penyebab terkesan tingginya angka pernikahan dini.
“Kenapa angka itu kesannya meningkat? sebetulnya karena batas usia perkawinan dulu 16 tahun sekarang menjadi 19 tahun. Jadi, dulu yang nikah umur 18 tahun tidak perlu dispensasi, sekarang jadi perlu dispensasi,” kata Hasto.
“Tapi, dulu tidak perlu (dispensasi) sehingga seolah-olah itu dilaporkan menjadi sekarang menjadi nikah dini, dulu tidak dilaporkan sebagai pernikahan dini pada undang-undang yang baru,” ujarnya menambahkan.
Hasto Wardoyo memaparkan, cara mengukur pernikahan usia dini yaitu melalui parameter perempuan hamil atau melahirkan pada usia 15-19 tahun. Di mana 10 tahun lalu setiap seribu perempuan yang sudah melahirkan, hamil dan menikah di bawah usia 19 tahun yaitu 36 per 1.000.
“Hari ini angkanya 26 per 1.000, jadi ada penurunan dan target kami memang mencapai 22 per 1.000. Jadi, itu untuk yang hamil dan melahirkan pada usia di bawah 19, tahun tapi trennya menurun,” ujar Kepala BKKBN.