KBRN, Jakarta: Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengatakan, hingga tahun 2022 angka stunting di Indonesia turun menjadi 21,6 persen. Ia pun mengapresiasi semua pihak terkait turunnya angka stunting tersebut.
Hal itu disampaikannya, saat menghadiri Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Rakerna ini dilakukan di auditorium BKKBN Pusat, Jakarta Timur, Rabu (25/1/2023).
"Saya masuk di 2014 angkanya di 37 persen. Saya kaget, sudah disampaikan pak Menkes (Budi Gunadi Sadikin) di 2022 angkanya sudah turun jadi 21,6 persen," kata Presiden.
"Dampak stunting ini bukan hanya urusan tinggi badan, tetapi yang paling berbahaya adalah rendahnya kemampuan anak untuk belajar. Keterbelakangan mental, dan munculnya penyakit-penyakit kronis yang gampang masuk ke tubuh anak," ujarnya.
Presiden pun menegaskan, target pemerintah angka stunting pada tahun 2024 turun mencapai 14 persen. Menurutnya hal tersebut bisa tercapai, asalkan semua lembaga yang berkompeten bisa bekerja secara maksimal dan bersama-sama.
"Oleh sebab itu target 14 persen di 2024 harus kita bisa capai. Saya yakin dengan kekuatan kita bersama semuanya bergerak, angka itu bukan angka yang sulit untuk dicapai asal semuanya bekerja bersama-sama," katanya.
Presiden menjelaskan, permasalahan stunting di Indonesia harus segera diselesaikan. Menurutnya, penyelesaian masalah stunting menjadi salah satu kunci peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM).
Perbaikan kualitas SDM, kata Presiden, sangat penting agar Indonesia mampu bersaing, baik di tingkat kawasan maupun global. Berdasarkan Survei Status Gizi Indonesia (SSGI 2021), tingkat prevalensi stunting secara nasional mencapai 24,4 persen.
Jumlah tersebut masih di atas ambang batas Badan Kesehatan Dunia (WHO) yang merekomendasikan prevalensi stunting di bawah 20 persen. Berdasarkan SSGI 2021, terdapat 12 provinsi yang menjadi prioritas percepatan penurunan stunting.
Ke-12 provinsi dengan prevalensi stunting tersebut meliputi Nusa Tenggara Timur (37,8 persen), Sulawesi Barat (33,8 persen), Aceh (33,2 persen). Berikutnya Nusa Tenggara Barat (31,4 persen), Sulawesi Tenggara (30,2 persen), Kalimantan Selatan (30 persen), Kalimantan Barat (29,8 persen).