KBRN, Sanggau : Riset Kesehatan Dasar (2018) dari Kementerian Kesehatan mencatat bahwa 7,8 persen penduduk Indonesia mengonsumsi mi instan serta makanan instan lain setiap harinya, yang mana 58,8 persen penduduk Indonesia mengonsumsi sebanyak 1 sampai 6 bungkus per minggu, dan hanya 33,8 persen mengonsumsi kurang dari tiga bulan.
Di Jawa Timur, 4,6 persen penduduknya mengonsumsi mi instan/makanan instan lainnya setiap harinya, sedangkan 52,7 persen mengonsumsi sebanyak 1 sampai 6 bungkus per minggu, dan 42,7 persen mengonsumsi mi instan kurang dari tiga bulan.
Studi menemukan konsumsi mi instan berhubungan positif dengan obesitas dan sindrom kardiometabolik di Korea Selatan (Nutrition Research and Practice, 2017), yang merupakan negara dengan konsumsi mi instan per kapita tertinggi di dunia. Hasil studi menunjukkan bahwa seringnya mengonsumsi mi instan mungkin berhubungan dengan peningkatan faktor risiko kardiometabolik di kalangan mahasiswa sehat berusia 19–29 tahun.
Kardiometabolik merupakan sekumpulan kelainan metabolisme yang ditandai dengan lima kriteria yaitu obesitas abdominal, peningkatan kadar trigliserida, penurunan HDL-kolesterol, peningkatan kadar glukosa darah puasa, dan peningkatan tekanan darah. Studi lain menunjukkan bahwa perempuan yang makan mi instan setidaknya dua kali dalam seminggu menunjukkan risiko 68 persen lebih tinggi terkena sindrom metabolik (The Journal of Nutrition, 2014).
Sindrom metabolik adalah kondisi ketika seseorang mengalami sekelompok masalah kesehatan secara bersamaan, berpotensi meningkatkan risiko penyakit jantung koroner, stroke, diabetes, dan serangan jantung. Selain itu alasan mengapa mie instan buruk untuk dampak kesehatan adalah : Tinggi Natrium, Rendah Serat , Protein, dan Kualitas Makanan yang buruk menjadi alasan penting agar konsumsi mie instan harusnya di batasi.