Kesehatan

Peneliti Peringatkan Bahaya Kental Manis Dianggap Sebagai Susu

Oleh: Dyan Parwanto Editor: Nugroho 20 Aug 2023 - 17:41 Pusat Pemberitaan
Peneliti Peringatkan Bahaya Kental Manis Dianggap Sebagai Susu
Ilustrasi kental manis (Foto: Pixabay)

KBRN, Yogyakarta: Hingga saat ini masih banyak yang salah kaprah dengan kental manis, yang dikenal sebagai susu kental manis. Persepsi kental manis dianggap sebagai susu membahayakan tumbuh kembang anak dan juga risiko bertambahnya penderita penyakit gula.

Hal tersebut diungkap Yayasan Abhipraya Insan Cendekia Indonesia (YAICI) di Gedung Siti Moenjiyah, Universitas 'Aisyiyah Yogyakarta, Sabtu (19/8/2023). Penelitian mereka menemukan masih banyak balita dan orang tua di DIY yang mengonsumsi kental manis. 

Konsumsi sirup rasa susu yang dianggap sebagai susu ini bahkan semakin meningkat ketika bulan suci Ramadhan. Ketua YAICI Arif Hidayat mengatakan perlu sinergi untuk lebih mengedukasi kental manis yang masih terpatri sebagai susu. 

"Kental manis itu sendiri sudah terpatri dipersepsikan sebagai susu, bahkan 100 tahun silam sejak masuk ke Indonesia. Sehingga itu alasan kita untuk melakukan penelitian, karena ini berbahaya kalau masalah persepsi ini tidak diubah," kata Arif Hidayat.

Arif menjelaskan iklan masif ke masyarakat yang mengajak hingga tiga gelas kental manis setiap hari jelas sangat berbahaya. Satu gelas untuk dewasa saja sudah melebihi takaran konsumsi gula per harinya, belum dengan konsumsi makanan mengandung gula.

Berdasarkan penelitian dengan Pimpinan Pusat 'Aisyiah, 22,3 persen atau 223 ibu di Yogyakarta menganggap kental manis adalah susu. Kental manis dikonsumsi seperti susu sebanyak 27 persen atau 278 pada orangtua dan 5,3 persen atau 55 balita.

"Status gizinya kalau kita lihat ada yang gizi kurang lima responden, terus potensi stunting 17, underweight 15 responden. Dari 55 anak yang mengonsumsi kental manis, ada 41 anak yang konsumsi kental manis terindikasi dan berpotensi malnutrisi, bisa gizi buruk, underweight, obesitas," ujar Arif.

Yang lebih mencengangkan dari penelitian ini adalah ada ibu yang tetap akan memberikan kental manis kepada balitanya. Padahal ia telah diberikan edukasi mengenai kental manis ini.

"Ini juga jadi masalah karena alasan orangtua memberikan kental manis pada balita, banyak diberikan alasan karena segi ekonomi, harga murah, dan lebih mudah didapatkan," kata Arif.

Arif menyebutkan, YAICI akan terus mengedukasi masyarakat meski diakui penuh tantangan. Dari edukasi masif, asumsi kental manis sebagai susu yang dulunya 97 persen, kini berada di kisaran 30 persen.

Batas konsumsi gula pada orang dewasa adalah 4-5 sendok atau sekitar 20-25 gr. Kadar ini kemudian menurun sesuai usia dan harus memperhatikan kandungan gula lainnya.

Hal tersebut disampaikan Guru Besar Gizi Universitas Muhammadiyah Jakarta Prof. Dr. Tria Astika. Ia juga merupakan Wakil Ketua Penelitian Penggunaan Kental Manis di DIY.

"Jadi pembatasan konsumsi gula itu tidak sebatas gula pasir tapi ada beberapa kandungan gula baik dari sayuran atau pun minuman. Itu terakumulasi," kata Prof. Tria.

Ia mengingatkan masa balita atau dua tahun pertama kehidupan merupakan masa tumbuh kembang emas. Karena itu, kebutuhan protein harus lebih tinggi, sementara pasokan gizi utama dari kental manis cenderung membahayakan generasi selanjutnya.

"Kalau di label kita lihat bahwa pada satu sendok takaran saji kandungan protein 1 gr, sementara gula sampai 20 gr. Padahal balita saat tumbuh, semakin tinggi usia semakin butuh protein yang tinggi. Itu sekitar 9 sampai 25 gr per orang, per hari," ujarnya.

Rektor Universitas 'Aisyiyah dan Ketua Penelitian Wilayah DIY Warsiti mengatakan perlu edukasi terus menerus dan masif. Edukasi ini terutama difokuskan pada kelompok masyarakat marjinal.

"Ini menjadi awal pijakan untuk melakukan riset-riset lanjutan. Karena di survei kita, lebih dari 50 persen memang pendidikan tidak lebih dari SMP," ucap Warsiti.

Sebagai provinsi masuk kategori termiskin dan UMP rendah, responden diambil di empat kabupaten di Daerah Istimewa Yogyakarta. Penelitian menyasar kaum marjinal dengan populasi 1.000 sampel pasangan ibu dan balita berusia 0-59 bulan.