KBRN, Semarang: Sepekan jelang datangnya bulan suci Ramadan, masyarakat Desa Soropadan, Kecamatan Pringsurat, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah menggelar tradisi nyadran. Tradisi bersih-bersih makam jelang Ramadan ini digealr di pemakaman Suroloyo atau Sepujud, Jumat (17/3/2023).
Di kompleks pemakaman Suroloyo tersebut terdapat makam Kyai dan Nyi Honggo Potro yang dipercaya sebagai cikal bakal masyarakat Desa Soropadan. Seperti tradisi nyadran di tempat lainnya, masing-masing kepala keluarga membawa makanan yang dimasukkan ke dalam keranjang bambu, dan tidak boleh dimasukkan ke dalam plastik.
Jika di tradisi nyadran di beberapa wilayah di Temanggung, makanan yang dibawa ke acara tersebut dimasukkan dalam tenong. Namun, di nyadran di pasarean Suroloyo, makanan dimasukkan ke dalam keranjang.
“Masing-masing kepala keluarga wajib membawa empat keranjang makanan dan lauk pauknya. Setelah dilakukan doa bersama, yang datang di nyadran masing-masing membawa pulang satu keranjang," kata Ketua Panitia Nyadran Sepujud, Agus Sarwono.
Agus mengatakan, tradisi nyadran di pemakaman Suroloyo tersebut dilakukan setiap hari Jumat dan bertepatan dengan hari Pahing (penanggalan Jawa, red) di bulan Syaban.
“Kami mengimbau seluruh warga yang ikut nyadran ini tidak membawa tas plastik. Ini dilakukan sebagai salah satu kampanye pengurangan penggunaan plastik,” katanya.
Ia menambahkan, para tradisi nyadran tersebut tidak mengenal acara 'kembul bujono' atau makan bersama di lokasi nyadran. Melainkan, makanan yang dimasukkan ke dalam keranjang tersebut, setelah doa bersama selesai lalu dibawa pulang.
Agus menambahkan, para tradisi nyadran tidak hanya dihadiri masyarakat Desa Soropadan saja. Melainkan juga mereka yang berasal dari berbagai kota dan mempunyai keluarga di Soropada juga menyempatkan untuk hadir.
“Selain undangan, pada tradisi nyadran ini juga banyak pula yang datan dari luar kota untuk menyempatkan hadir. Sekalian untuk bersilaturahmi ke keluarganya menjelang bulan puasa,” ucapnya.
Sementara itu, salah satu sesepuh Desa Soropadan, R Ananta Kusuma menambahkan, tradisi nyadran tetap dilestarikan bertujuan mendoakan arwah para leluhur. Tiodak hanya itu, tapi juga upaya mempererat kerukunan warga.
“Acara nyadran ini juga sebagai sarana nguri-uri (melestarikan) budaya yang ada. Sekaligus mempererat tali kekeluargaan yang ada antarwarga,” ujarnya.